Kamis, 25 September 2008

Foto Bantengan
Waktu Karnaval HUT RI Ke 63




Kesurupan Yooo

Awas Cak Pono Ngamuk


Jangan Ketawa donkk!!


Banteng CBS


Cakra Buana Sakti
Kebanggaan kita semuaBanteng Ngamuk

Monyet Pacaran Yaaa...
Senyumnya Itu lhoo...
Manis Dech....

Minggu, 07 September 2008

Bantengan Masih Banyak Peminat


Nama Kesenian : Cakra Buana Sakti
Nama Ketua : Suparno
Alamat : Desa Kesimantengah

Dsn. Kesimantengah

Kec. Pacet Kab. Mojokerto
Cakra Buana Sakti Berdiri sejak tahun 2008 tepatnya pada bulan Maret 2008. dan sekarang nama Cakra Buana Sakti Sudah banyak dikenal masyarakat K
ec. Pacet.
Contoh Film Bantengan


Oleh : Bangga Al Hakim

1. Sejarah

Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi

a.Berasal dari Batu

b. Berasal dari Cleket (Made) dan berkembang pesat di Pacet

a. Berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.

b.Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket

Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.

Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.

Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah).

Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.

Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional.

Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak menarik lagi.

Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini.

Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang.

Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi.

Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.

Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran tentang sebuah IKON.

2. Bantengan Masa Sekarang

Group Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet. Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?

Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini Bantengan ini.

Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.

Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang (lihat gambar).












Kedua pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain double dalam bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memaunkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.

Meskipun sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga gerakan pendekar.

Sekarang Bantengan pun tidak sja hanya banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan (disbet buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.

Di tahun 2008 kebetulan penulis memiliki kesenian di Desa Kesimantengah Kec. Pacet yang bernama Cakra Buana Sakti. Dengan adanya kesenian ini terbukti banyak peminat dari banyaknya penjual VCD bantengan dengan omset yang cukup besar. Dan tiap tahun selalu diadakan karnaval memperingati kemerdekaan RI.

Banteng mungkin melawan harimau atau macan (masih ingat lukisan R. Saleh tentang banteng melawan harimau) simbol bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga sendiri pasti lebih artistik dan atraktif apalagi saat melawan banteng.

Banteng bukan milik PDI atau partai-partai lain. Kita harus berpikir bersih dan bening demi seni dan bangsa serta kemanusiaan.

Pakaiannya barangkali bisa lebih digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar yang akan lebih hidup. Ketika “uborampe”nya digarap mulai dari topeng, tubuh banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang, jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau musik yang berangkat dari seni silat ini, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur). Akhirnya Bantengan ini menjadi sesuatu yang khas dan kemungkinan akan diminati oleh masyarakat lebih luas seperti seni-seni kitch yang lain: Reyog (Ponorogo), Glipang (Probolinggo), Remo (Surabaya), Topeng (Malang dan Madura), Jangger (Banyuwangi), Ririmau (Palembang), Ondel-ondel (Jakarta) dan Bantengan dari Mojokerto.

Makna Filosofis Seni Bantengan

Sebenarnya kota kecil Pacet kurang lebih 30 km dari kota Mojokerto ke arah selatan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Kesenian itu sangat atraktif yang disebut Bantengan. Cabang kesenian ini sering pentas/ pagelaran menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan , ruwatan desa, sunatan, pernikahan terutama untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian banteng adalah bagian hidup kami”, kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal Claket Pacet mojokrto. Sebagaimana kakek dan bapaknya dulu (Mbah Siran), Amir mulai mencintai Bantengan sejak masih anak-anak. Alasannya dia mengikuti cabang kesenian sekaligus ikut olahraga pencak silat yang banyak berkembang di surau-surau setempat. Jumlah group Bantengan yang berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang ini diperkirakan berjumlah 17 group yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Made, Barakan dan lain-lain.

A. Asal-usul

Pada awalnya Bantengan Cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencakcak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan sendiri. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni binatang banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan atraktif. Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung untuk topeng Bantengan melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik" (potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir tak beda dengan kakek dan bapaknya adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.

A.Seni Bantengan dalam Konteks Olahraga

Akal yang sehat terletak pada badan yang sehat, demikian sebuah pepatah. Untuk dapat memainkan Bantengan perlu adanya pikiran yang sehat sehingga bisa mengendalikan permainan serta badan yang sehat agar gerak danlaku yang diperankan bisa sempurna. Ada dasar-dasar olahraga yang perlu dipersiapkan dalam olahraga yang perlu dipersiapkan dalam pola seni Bantengan ini antara lain : kaki yang kuat dalm kuda-kuda, kekekaran dan kesehatan tubuh, kelenturan dalam gerak langkah, serta pernafasan yang panjang. Untuk memenuhi hal itu diperlukan latihan yang rutin dalam bidang olahraga. Olahraga yang membudaya waktu itu adalah seni beladiri masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan pencak silat. Setelah diteliti olahraga ini hanya dimiliki pada budaya Jawa.

B. Seni Bantengan dalam Konteks Olah Hati

Jika kita mendalami budaya, maka banyak cara yang dilakukan oleh nenk moyang kita dalam mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara meditasi, semedi, tapa brata, yoga dan lain-lain yang intinya ingin mendapatkan kesempurnaan hidup sampai manunggaling kawula lan Gusti. Setiap manusia tentu ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Salah satu unsur kesempurnaan hidup adalah efektiknya (tulus ikhlas) permintaan kepada Tuhan. Untuk bisa efektif permintaan pada Tuhan diperlukan latihan olah rohani yang dilandasi olah nafas/ tenaga dalam. Sesungguhnya hampir semua agama mengajarkan cara ini, hanya saja metodenya yang berbeda. Dalam dunia persilatan cara ini banyak dilakukan apakah perguruan modern maupun tradisional. Untuk memerankan peran dalam kelompok seni Bantengan tentu semua ingin melakonkan atau memainkan dengan sempurna. Untuk melakukan dengan sempurna maka olah dan gerak nafas dapat dilakukan antara lain:

1. Konsentrasi memohon kepada Tuhan

2. Menarik nafas panjang dilepas pelan-pelan sambil berdoa mohon sesuai dengan yang diinginkan.

3. Dilakukan terus-menerus sampai mendapatkan langkah dan gerak otomatis menuju kesempurnaan yang dimainkan. Dengan cara ini meskipun keanyakan orang melihat kesurupan, tetapi pada dasarnya adalah permainan untuk mengecoh pengunjung agar puas serta sebagai alat perjuangan agar tidak terjerat oleh hukum karena dianggap kesurupan (gila)

C. Seni Bantengan dalam Konteks Mistik

Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan.






By Bangga Al Hakim